968kpfm, Samarinda - Tepat pada Selasa, 17 Agustus 2021, Indonesia berusia 76 tahun. Tanah Air ini, masih dilanda pandemi covid-19.
Data yang dicatat Kementerian Kesehatan, ada 100 ribu nyawa warga Indonesia melayang akibat virus, yang muncul pertama kali di Wuhan, Tiongkok ini.
Pemerintah tak tinggal diam dalam menekan tingginya penularan. Mulai menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga mengubah istilahnya menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Situasi pandemi ini tidak jauh berbeda dengan "perang". Petugas medis menjadi prajurit terdepan. Mereka dihadapkan langsung dengan pasien yang terjangkit virus corona.
Tak hanya itu, satu tahun lebih pandemi ini menyelimuti seantero Indonesia, muncul gerakan masyarakat yang bahu-membahu memberikan bantuan kepada pasien yang menjalani isolasi mandiri atau isoman.
Berikut cerita-cerita para "pejuang" yang melawan covid-19 yang dirangkum KPFM Samarinda.
Muhammad Aditya Noor bekerja sebagai perawat di salah satu rumah milik pemerintah di Samarinda. Dia bertugas di ruang isolasi khusus pasien covid-19.
Sejak Oktober 2020, pemuda 23 tahun itu sudah ditempatkan untuk merawat pasien Covid-19 dengan gejala sedang hingga berat.
"Awal mulanya biasa saja. Tapi ketika melihat banyaknya rekan sejawat yang wafat karena terpapar covid-19 jadinya sempat merasa cemas dan takut," kata Adit.
Selain rasa takut, kelelahan jadi tantangan Adit. Berjam-jam dia harus memantau pasien covid-19. Nilai kemansuianlah yang mendorong Adit untuk bisa bertahan, melawan rasa takut dan cemas dalam merawat pasien covid-19.
Adit tak menampik kalau pekerjaannya sangat berisiko. Menurutnya, pekerjaannya sekarang merupakan tugas yang dipercayakan tuhan kepada dirinya.
Bahkan setelah pasien berhasil melewati fase kritis, Adit kerap mengingatkan mereka agar tetap menjaga kesehatan dan menceritakan kondisi rumah sakit kepada orang-orang yang masih lalai menerapkan protokol kesehatan (prokes).
"Tentu kami ingatkan mereka. Karena setelah keluar dari ruang isolasi, mereka bisa berperan untuk mengingatkan masyarakat agar mematuhi prokes," tegasnya.
Di sisi lain, Adit berharap, pemerintah lebih menaruh perhatian terhadap insentif tenaga kesehatan, yang selama ini "cair" setiap dua bulan sekali.
"Lebih bagus jika insentif bisa keluar satu bulan sekali. Saya tidak masalah nominalnya berapa, tetapi setidaknya pemberian insentif tepat waktu itu kan bisa memacu semangat kami. Itu juga sebagai bentuk apresiasi pemerintah terhadap kinerja kami," harapnya.
Lain lagi kisah Waryo, yang bekerja sebagai penggali kubur di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Raudhatul Jannah Samarinda. Pemakaman yang terletak di Tanah Merah, Samarinda Utara itu dikhususkan untuk pasien yang meninggal akibat covid-19.
Pria berusia 46 tahun itu tak gentar saat berhadapan dengan jenazah covid-19. Dia yakin, pemulsaran yang dilakukan rumah sakit sudah sesuai standar operasional prosedur (SOP).
Sebagai langkah hati-hati, Waryo bersama tim tetap menggunakan alat pelindung diri (APD) ketikan memasukkan jenazah ke liang lahat.
"Kalau takut itu pasti karena kami khawatir terhadap keluarga. Tetapi saya yakin proses pemulasaran di rumah sakit sudah sesuai SOP, sehingga kami anggap aman," terang Waryo.
Waryo bercerita, sejak Juli lalu intensitas pemakaman pasien covid-19 tinggi. Bahkan dirinya pernah menggali 24 liang lahat dalam kurun waktu satu hari.
Baru-baru ini, terbit Surat Edaran Wali Kota Samarinda, yang memperbolehkan memakamkan jenazah covid-19 di TPU masing-masing kecamatan. Kebijakan itu disebut Waryo dapat meringankan tugasnya sebagai penggali kubur.
"Kami bersyukur saat ini sudah tidak seramai seperti di bulan Juli. Karena kami cukup kewalahan juga kalau menyiapkan lebih dari 10 liang lahat lantaran satu tim hanya 6 orang saja," tutur Waryo.
"Bahkan jika tanahnya cukup keras, biasanya kami hanya bisa menggali satu liang lahat per hari," tambahnya.
Namun, persoalan upah jadi hal yang sering dia curahkan. Waryo bersama timnya hanya menerima Rp 500 ribu untuk satu lubang kubur.
Menurutnya, jumlah itu belum bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga Waryo berharap, pemerintah bisa memperhatikan kondisi ekonomi mereka.
"Selain itu kami berharap agar wabah Covid-19 bisa berakhir sehingga kami bisa beraktivitas seperti biasa," tandasnya.
Penyebaran covid-19 pada periode Juni-Juli 2021 di Samarinda membuat banyak rumah sakit kewalahan. Ruang perawatan penuh. Dampaknya, banyak pasien yang terpapar memilih menjalani isolasi mandiri (isoman) di rumah.
Minimnya edukasi dan sosialisasi kepada warga, menyebabkan angka kematian pasien isoman sempat meningkat tajam. Banyak masyarakat yang terpanggil untuk memberikan obat-obatan kepada pasien isoman. Salah satunya adalah Noor Ade Natha Kartika.
Wanita yang juga penyintas covid-19 itu tak menyangka gerakan yang digagasnya menuai respons baik di masyarakat. Ade mengungkapkan, awal mula dia melakukannya karena melihat orang terdekatnya jatuh sakit dengan gejala mengarah pada covid-19.
"Saat itu saya punya stok vitamin karena saya termasuk penyintas. Jadi ketika orang itu memberi tahu kondisinya yang sedang sakit, saya berinisiatif memberikan beberapa butir vitamin dan uang tunai karena bingung mau memberi apa," terang Ade.
"Selain itu saya tergerak mengambil tindakan ini karena banyaknya pemberitaan di media sosial tentang kematian pasien Covid-19 serta kebutuhan donor plasma," sambungnya.
Aktivitas pemberian bantuan itu diunggah Ade di media sosial. Dari positing-an itu, banyak dokter yang mengajukan diri untuk membantu gerakan yang dimulai Ade.
Ade menyebutkan, saat ini ada 7 dokter yang bersedia menyediakan layanan konsultasi dan obat-obatan secara gratis bersama gerakannya. Terlebih, sejumlah orang langsung mengirim uang kepadanya untuk membeli vitamin.
Terus berlanjut, Ade kini harus menyiapkan formulir bagi warga yang tengah menjalani isoman. Termasuk gejala yang mereka idap. Setelah form terisi, Ade meneruskan keluhan pasien tersebut ke dokter untuk memberi resep obat-obatan yang akan dikirim.
"Kami memprioritaskan warga yang kurang mampu. Makanya di form kami cantumkan apakah mereka mampu atau tidak. Bagi mereka yang mampu tetap kami bantu juga dengan harapan mereka kelak bersedia untuk membantu kami nantinya," papar Ade.
Meski demikian, Ade sempat mengalami kendala dalam menyediakan obat-obatan yang disarankan oleh dokter. Kesulitan tersebut terjadi karena kebutuhan obat-obatan untuk meredakan gejala covid-19 sudah tak tersedia di apotek. "Kalaupun ada harganya jauh di atas normal," imbuhnya.
Dua pekan sudah gerakan yang dicanangkan ibu satu anak ini berlangsung. Sebanyak 260 paket obat-obatan dan vitamin sudah distribusikan kepada warga yang menjalani isoman.
Gerakannya ini juga mendapat sambutan hangat dari para kurir yang menyediakan layanannya secara cuma-cuma.
"Awal-awal intensitasnya tinggi. Tapi sekarang mulai mengalami penurunan. Memang gerakan ini terlihat kecil, tapi setidaknya bisa membantu masyarakat yang kesulitan mencari obat-obatan saat menjalani isoman, serta mampu mencegah kematian saat isoman," ucapnya.
Menutup sesi wawancara, Ade berpesan kepada pemerintah agar bisa lebih berperan memberi edukasi kepada masyarakat yang menjalani isoman.
Di samping itu, masyarakat juga harus peka untuk saling membantu satu sama lain jika ada kerabat di lingkungannya yang terpapar Covid-19.
Foto 2: Kiriman foto Muhammad Aditya Noor saat bertugas di ruang isolasi covid-19. (istimewa)
Foto 3: Waryo (kiri) saat ditemui KPFM di TPU) Raudhatul Jannah Samarinda. (KPFM/Fajar)
Foto 4: Noor Ade Natha Kartika bercerita tentang awal mula gerakan bantu pasien isoman covid-19. (KPFM/Fajar)
Penulis: Fajar
Editor: Maul
Benua Etam
Terima Silaturahmi Masyarakat Umum, Gubernur Kaltim Berikan Santunan Kepada 1.000 Penerima16 Aug 2021