Main Image
Kota Tepian
Hi-Tech | 12 Jun 2021

Pentingnya Literasi Digital, Agar Tak Luapkan Marah di Media Sosial

968kpfm, Samarinda - Di era pandemi seperti sekarang, masyarakat cenderung menghabiskan waktunya di dunia maya. Media sosial yang sering dipakai untuk menjalin komunikasi.

Mengingat pembatasan sosial masih diberlakukan guna menekan laju penyebaran Covid-19.

Praktis. Semua golongan usia, baik yang masih berusia belia, remaja, bahkan orang dewasa dituntut beradaptasi dengan hal baru, yang segalanya dilakukan secara virtual.

Bagi masyarakat yang gagap akan teknologi, tentu kebiasaan baru ini akan menyulitkan. Imbasnya, dampak negatif pun mulai bermunculan di berbagai platform media sosial.

KPFM Samarinda tertarik untuk mengulas hal tersebut dengan menggelar talkshow bertajuk "Public Freakout". Beberapa narasumber seperti Kabid Aplikasi dan Layanan E-Government Diskominfo Samarinda, Suparmin, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman, Jonathan Alfando, serta Psikolog Ayunda Ramadhani.

Membuka diskusi, Ayunda mengatakan bahwa "Freakout" memiliki arti kata marah, melampiaskan atau histeris. Artinya public freakout merupakan kemarahan yang dilakukan di ruang publik. Tentu hal ini sering ditemukan di platform media sosial apapun.

Biasanya, sahut Ayunda, public freakout sering terjadi pada generasi "Baby Boomers" atau masyarakat yang saat ini memiliki rentang usia 50-60 tahun. Momen pandemi seperti saat ini memang terlihat sekali banyak dari mereka (Generasi Baby Boomers) yang kaget menggunakan segala macam teknologi.

"Sebenarnya tidak hanya mereka. Tapi kita semua juga mengalaminya karena kondisi pandemi. Namun bagi generasi milenial, fenomena ini jarang kita temukan. Sehingga peran Gen-Z di sini penting untuk membantu mereka beradaptasi," terang Ayunda.

Selain itu, tingginya waktu penggunaan gadget dan menelusuri media sosial menjadi salah satu faktor terjadinya fenomena public freakout. Ayunda menyebut, tidak semua konten di media sosial bersifat positif. Di suatu waktu, pasti ada saja ditemukan konten yang mengandung unsur negatif.

"Konten inilah yang membuat emosi menjadi negatif. Ketika itu muncul, maka itu adalah waktu yang tepat untuk berhenti sejenak dari dunia digital. Lakukan relaksasi dan kerjakan aktivitas kembali seperti biasa. Setelah itu baru kita melihat media sosial lagi," sarannya.

Sementara itu, Akademisi Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman, Jonathan Alfando menyatakan bahwa minimnya literasi digital menjadi faktor pendukung terjadinya luapan amarah di media sosial.

Dijelaskannya, literasi digital adalah pengetahuan untuk menggunakan media digital, keterampilan dalam menggunakannya, serta memanfaatkannya menjadi hal yang positif.

"Makanya literasi ini perlu ada di semua lapisan masyarakat. Generasi Baby Boomer yang sering ditemukan kelihatan gagap teknologi. Peran milenial di sini untuk memberikan pemahaman dan literasi terhadap mereka yang seperti itu, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif," paparnya.

Walau banyak yang beranggapan konten di media sosial banyak yang mengandung unsur negatif tentu menjadi tantangan tersendiri bagi konten kreator untuk merubah mindset masyarakat. Hal tersebut dikatakan Kabid Aplikasi dan Layanan E-Government Diskominfo Samarinda, Suparmin.

Menurutnya, jika dikelola dengan benar, konten media sosial bisa diolah sebagai penghasil cuan bagi publik. Memang hal ini bisa membuat masyarakat terpicu. Namun sisi negatifnya masyarakat menghalalkan segala cara untuk memperoleh fulus di dunia internet.

"Kalau dia marah-marah sendiri sih tak jadi masalah. Tapi kalau marahnya secara sadar dan direkam, lalu di unggah sebagai konten mereka sehingga menimbulkan dugaan ujaran kebencian tentu akan menjadi masalah besar," bebernya.

Oleh sebab itu, Suparmin menekankan pentingnya literasi digital dalam penggunaan media sosial di era seperti saat ini. Tidak ada istilah tidak siap atau masih kaku dengan teknologi. Semua masyarakat harus siap untuk menghadapi perkembangan zaman, tentunya dengan menambah pemahaman tentang literasi digital.

Foto: Talkshow KPFM Samarinda Bertajuk "Public Freakout". (dokumentasi)

Penulis: Fajar
Editor: Maul

Share This Post
More Article