Stunting atau gagal tumbuh menerpa ribuan balita di Samarinda. Pola asuh orangtua dan asupan gizi yang buruk jadi penyebab utama. Bukan hanya fisik, stunting juga menyerang perkembangan kognitif otak anak.
***
968kpfm, Samarinda - Eka memulai hari dengan menyiapkan sarapan untuk si buah hati, Hanif. Nasi dan telur dadar adalah menu favorit anaknya. Sarapan tersedia begitu Hanif bangun tidur.
Eka ketat mengatur jam makan Hanif. Masuk tengah hari, anaknya kembali melahap makanan. Sementara hidangan malam dijadwalkan selepas Isya.
"Sarapannya disiapkan sekitar jam 7 atau 8 pagi, pas Hanif bangun," kata Eka, Kamis, 14 September 2023. "Kalau siang jam 1 dan malam jam 8. Menunya beda-beda."
Selain telur, risoles isi ayam dan sayur jadi kesukaan Hanif. Sajian ini paling sering diminta bocah 4 tahun itu. Eka membuat kudapan itu sendiri, berbekal advis dokter spesialis gizi.
"Saya buat isian, bahkan kulit risolesnya saya buat sendiri. Saran spesialis gizi menambah banyak asupan minyak dan santan untuk Hanif. Itu karena anak saya baru mengenal kembali 'makanan'," sebut perempuan 26 tahun itu.
Pada Maret 2023 Hanif didiagnosis stunting. Faktor utamanya adalah kurang asupan gizi. Kini, Eka dan suaminya berjuang untuk kesehatan Hanif.
Saat dinyatakan stunting, tinggi badan anak Eka hanya mencapai 86 centimeter, dengan berat 10 kilogram. Itu membuat Hanif masuk kategori Balita Bawah Garis Merah (BGM). Di usia 4 tahun, Kenaikan Berat Minimal (KBM) Hanif mestinya menyentuh angka 14,4 kilogram.
Awal curiga Hanif alami stunting
Hanif anak pertama yang dimiliki Eka. Suaminya berprofesi sebagai guru. Penghasilannya cukup memenuhi suplai gizi Hanif. Namun, ketika di bawah 2 tahun, anaknya itu cenderung menolak makanan dan sering jatuh sakit.
"Pas sakit makan paginya donat, siang mie instan. Minumannya susu UHT (ultra-high temperature) kemasan," terang Eka.
Seiring berjalannya waktu, kecurigaan Eka terhadap kondisi anaknya menjadi. Ia membandingkan fisik Hanif dengan anak lain. Hanif juga tidak berselera makan.
"Kok anak saya kecil, ya? Kok tingginya jauh sekali, ya, dari temannya? Jajan pun tidak menggebu," cecar Eka.
Hasil timbang posyandu di dekat rumahnya, kawasan Samarinda Ulu, turut mengecewakan Eka. Angka berat badan Hanif di Kartu Menuju Sehat (KMS) selalu menunjukkan kurva di bawah garis merah.
"Setiap ke posyandu, kok anak saya tidak mengalami perkembangan tinggi dan berat ya? Kurvanya selalu di bawah garis merah," ucapnya.
Eka tetap menyangkal kalau Hanif mengalami gejala stunting. Itu karena pihak keluarga maupun kerabat dekat meyakinkannya bahwa, yang terjadi pada Hanif adalah 'normal'.
"Kata kerabat dekat, saya itu sama kayak Hanif waktu seusianya. Tidak mau makan nasi. Keluarga selalu bilang Umi dan Abinya saat seusia Hanif memang keturunan 'kecil'."
Dalam relung hati terdalam, Eka meyakini kalau ada yang salah dengan pertumbuhan Hanif. Ia mencoba berbagai cara. Di antaranya, membuat Hanif lapar agar buah hatinya itu mau makan.
Perbuatan Eka justru membuat Hanif kembali jatuh sakit. Puncaknya, Hanif mendapat perawatan intensif di rumah sakit selama 4 hari karena tipes.
"Hanif cuman makan roti-rotian. Saya mulai membuat dia lapar agar mau coba makanan yang lain. Sampai tidak ada sama sekali yang dimakannya, lalu tipes," kata Eka lara.
Keluar dari rumah sakit, Eka membawa Hanif terapi di sebuah tempat, yang berpraktik di Samarinda. Namun hal ini juga belum bisa meningkatkan nafsu makan anaknya. Meski kebiasaan minum susu UHT berhenti.
"Ini ketika tahun 2022. Hanif tidak mau makan lauk sama sekali, terutama yang mengandung protein hewani. Harapan saya membawa Hanif ikut terapi bisa memunculkan hasil. Anak saya tetap tidak mau makan," ucapnya.
Bolak-balik rumah sakit
Eka bingung dengan kondisi anaknya. Ia tidak tahu harus berbuat apalagi. Mencari informasi sana-sini. Bahkan, ia memutuskan menyunat Hanif yang masih 4 tahun. Takut bocah kesayangannya itu mengalami infeksi saluran kemih, karena tak mau makan.
"Saya baca beberapa artikel tentang anak yang susah makan dan terinfeksi saluran kencing. Saya takut. Makanya saya sunatkan. Tapi tidak ada perubahan juga. Saya sempat berfikir bagaimana mendapat bantuan untuk mengamati tumbuh kembang anak," ujarnya.
Ihwal adanya dokter spesialis anak, baru ia ketahui ketika membawa Hanif ke fasilitas kesehatan. "Saya pergi ke klinik, saya jelaskan masalah anak saya yang tinggi dan berat badannya di bawah garis normal berdasarkan buku pink (baca: buku Kesehatan Ibu dan Anak). Hanif dirujuk ke poli anak RS Dirgahayu."
Di rumah sakit, Hanif melewati serangkaian tes. Mulai tes tuberkulosis (TB), urine, hingga pemeriksaan feses atau pencernaan tubuh.
Hanif juga dirujuk ke dokter spesialis gizi. Di sana, Eka mendapatkan jadwal dan daftar menu makanan yang sudah diresepkan petugas medis.
"Hasilnya negatif. Termasuk tes darahnya normal. Tes urine dan fesesnya juga normal. Tapi semua resep makanan tidak bisa dijalankan. Karena sebelumnya Hanif sudah menolak untuk makan lauk," terangnya.
Dari RS Dirgahayu, Hanif dirujuk ke RS Abdoel Wahab Sjahranie (AWS) untuk menjalani tes lainnya. Lalu dirujuk kembali ke dokter ahli tumbuh kembang pediatri sosial. Momen ini menggiring Eka pada titik terendah dalam hidupnya.
"Di AWS hasil jantung dan darah anak saya normal juga. Lalu dirujuk ke spesialis tumbuh kembang, di sini titik terendah saya. Kata dokter, Hanif mengalami stunting," ucapnya, lirih.
Dokter itu juga, lanjut Eka, menyarankan agar Hanif memakai nasogastric tube (NGT). Tujuan pemasangan selang berbahan plastik lunak itu, membantu menyalurkan pasokan makanan, agar Hanif bisa mengejar ketertinggalan terkait berat badan.
"Saya sempat menghilang. Saya takut kembali konsultasi. Karena bayangan saya, Hanif bisa mengunyah dan menelan. Ia juga sudah tahu apa itu malu. Bagaimana kalau ia pakai NGT? Sedih sekali."
"Saya bolak-balik rumah sakit itu dari Februari ke Maret. Seminggu bisa 2 sampai 3 kali. Lalu saya memutuskan berhenti," ucap Eka.
Eka sebenarnya tidak putus asa. Ia cuman butuh waktu untuk menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Selang beberapa waktu kemudian, ia kembali memboyong Hanif ke salah satu pusat terapi tumbuh kembang di Kota Tepian (julukan Samarinda), atas rekomendasi seorang kawan.
"Hati saya merasa masih butuh jalan. Dari hasil asesmen di pusat terapi itu, ditemukan kalau Hanif tidak lulus sensori dan motoriknya," ujar Eka.
Hanif dibawa lagi oleh Eka menuju RS Dirgahayu untuk bertemu dengan dokter spesialis anak. Sang dokter, sebut Eka, mengarahkan buah hatinya masuk poli rehabilitasi medik, untuk membantu masalah gangguan menelan.
Hasil dari rehabilitasi medik membuahkan berbagai fakta yang anyar bagi Eka. Hanif trauma terhadap makanan yang teksturnya keras. Seperti nasi. Ia juga dicap takut ketinggian dan punya rasa cemas berlebih.
Trauma makanan ini, kata Eka, kemungkinan terjadi saat Hanif sering sakit di usia kurang 2 tahun. "Anak saya dikatakan trauma sama makanan. Ini sudah berlangsung lama. Saat umurnya di bawah 2 tahun, pas sering sakit. Hanif merasakan makanan yang masuk mulutnya itu pahit, tidak enak. Itu terekam dalam otaknya bahwa makanan itu tidak aman untuknya," terang Eka.
Selanjutnya, Hanif direkomendasikan menjalani terapi oromotor atau dasar keterampilan mengatasi keluhan susah makan. Terapi berjalan 3 bulan, Hanif kecil berangsur membaik.
"Anak saya sudah mau makan nasi, mau makan ayam, telur, tempe. Seperti anak-anak lainnya mencoba makanan baru. Walaupun ia akan bilang tidak suka, tapi mau mencoba," sebut Eka.
"Sebelumnya, pegang nasi saja Hanif gemetar. Saat mengunyah, nggak lama dimuntahkan. Sekarang alhamdulillah," ucap Eka, mengungkapkan rasa senangnya.
Setelah rutin menerima gizi baik dari makanan yang diberikan Eka, Hanif berangsur pulih. Pertumbuhan berat dan tinggi badannya menunjukkan hasil memuaskan.
"Bahagia dan bersemangat melihat pertumbuhan Hanif. Umurnya sekarang 4 tahun 9 bulan. Beratnya 13 kilogram dan tinggi 97 centimeter," kata Eka.
Terakhir Eka dan Hanif mengunjungi Posyandu pada 8 September lalu. Grafik kurva pada KMS Hanif membuat perasaan ibunya lega. Selama dua bulan terakhir, angka di bawah garis merah melonjak ke area kuning, yang menandakan Hanif masuk kategori balita kurang gizi ringan.
"Kader posyandu bilang: 'ibu hebat mau berjuang'. Ah, rasanya air mata ini mau tumpah. Saya banyak mengucapkan terima kasih kepada semua yang memberi perhatian. Banyak yang sudah saya lalui."
Eka berharap Hanif jadi anak yang sehat. Ia dan suaminya terus berjuang memberikan yang terbaik bagi si buah hati, Hanif.
"Semoga anak saya mau memaafkan kekurangan saya. Kami masih terapi. Kami masih mengejar," harap Eka.
Eka juga berpesan pada ibu di luar sana, yang anaknya mengalami stunting seperti Hanif. Perluas pengetahuan serta wawasan terkait pemenuhan gizi anak.
"Jika tidak tahu, cobalah bertanya. Tidak ada ibu yang pelit untuk memberikan informasi tentang pertumbuhan anak. Jangan menunggu, tapi mencari jalan keluar. Usahakan berobat itu ke spesialis anak."
"Anak belum tahu mana yang baik dan tidak. Perlu diisi bekal untuk masa depannya. Salah satunya, kesehatan," tutup Eka, mengakhiri wawancara.
Stunting bisa diperbaiki?
Apa yang terjadi pada Hanif, juga dirasakan pada seribu lebih balita di Samarinda. Penyebab stunting adalah gangguan pertumbuhan. Memang terdengar sederhana.
Jika menilik lebih dalam, persoalan stunting seperti benang kusut. Dimulai dari masa kehamilan. Apakah janin mendapatkan cukup nutrisi atau tidak? Lalu lahir, dan menjadi bayi yang butuh asupan air susu ibu (ASI) ekslusif.
Tidak hanya itu, stunting juga bisa disebabkan faktor determinan atau penyebab tidak langsung. Mulai lingkungan, sanitasi, hingga faktor pendidikan pola asuh orang tua.
KPFM menghubungi Pakar Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman (Unmul), Nurul Afiah untuk menjelaskan, bagaimana stunting menggerogoti balita.
"Penyebab utama stunting adalah kekurangan gizi secara terus menerus atau berulang dalam jangka waktu yang lama. Mulai dari anak dalam kandungan sampai anak berusia 2 tahun," jelas Nurul.
Kekurangan gizi ini, lanjut Nurul, dimulai pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Padahal dalam periode tersebut, asupan nutrisi yang baik bagi ibu hamil dan bayi setelah melahirkan, sangat penting.
"Di Samarinda, masyarakat belum sepenuhnya paham pentingnya ASI eksklusif. Pemberian ASI ini kadang nggak sampai 6 bulan. Atau memberikan ASI tapi juga diselingi susu formula dan makanan tambahan lain. Sebenarnya ASI itu mengoptimalkan gizi bayi."
"Kemudian saat memasuki usia makan, tapi makanannya kurang gizi. Keadaan berulang ini yang menyebabkan anak jadi gagal tumbuh atau istilahnya stunting," jelas Nurul.
Mengenai kasus stunting yang dialami Hanif, Nurul menjelaskan, stunting bisa diperbaiki selama anak belum berumur 2 tahun. Apabila melebihi usia tersebut, perbaikan nutrisinya jauh lebih sulit.
"Sulit tidak berarti terlambat, harus optimis bisa lolos dari stunting. Yang ditakutkan itu bukan tubuh yang pendek, tapi perkembangan kognitif anak. Kemampuan otaknya kelak, karena stunting juga lebih berisiko bisa kena penyakit jantung, diabetes dan lain sebagainya, saat anak beranjak dewasa," ucap dosen Departemen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unmul itu.
Nurul mengingatkan orang tua yang anaknya mengalami stunting, untuk rutin memberikan makanan mengandung protein hewani. Nutrisi tersebut paling baik meningkatkan gizi pada anak stunting.
"Tidak harus salmon atau daging merah. Bisa telur atau ikan gembung yang proteinnya tinggi. Biaya lebih murah," imbuhnya.
Merokok menyebabkan stunting
Hanif beruntung bukan dilahirkan di tengah lingkungan yang buruk. Terutama gangguan asap rokok. Sebab Nurul memaparkan, faktor determinan penyebab stunting yang kerap dijumpainya adalah orang tua yang merokok dekat anak.
Ia dan mahasiswanya meriset permukiman di bantaran Sungai Karang Mumus (SKM), Samarinda. Studi tersebut ditujukan pada warga berpenghasilan rendah. Banyak asumsi, perkara ekonomi jadi musabab stunting.
"Bayi atau balita dekat dengan perokok berisiko menderita ISPA (infeksi saluran pernapasan akut). Jika terpapar akan sakit berulang. Mengganggu pola makan dan menyebabkan kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang."
"Beberapa orang yang diwawancarai mengaku tidak merokok di dekat bayi, tapi anaknya kena ISPA. Ya, karena partikel asap menempel di baju, bahkan tembok. Itu bisa terhirup bayi. Jika ingin menjaga kesehatan bayi, berhenti merokok," tegasnya.
Penyuluh Keluarga Berencana (PKB) di Kecamatan Samarinda Seberang melaporkan hal serupa. Petugas menyaksikan banyak orang tua merokok.
Tak heran, dari 10 anak di Kelurahan Sungai Keledang yang diintervensi gizi buruk, 3 di antaranya mengalami TBC. Sedangkan di Kelurahan Masjid, ada 3 balita yang mengidap TBC dari 7 anak yang diintervensi.
Bahkan, di Samarinda Seberang pula, ditemukan kasus kematian anak stunting. Dikutip dari Samarinda Pos, anak yang terdeteksi stunting meninggal dunia karena disertai penyakit bawaan, yakni TBC.
Minim kesadaran masyarakat
Langkah yang dilakukan Eka, dengan aktif membawa Hanif ke posyandu sudah benar. Posyandu adalah pintu pertama pemantauan pertumbuhan anak. Sehingga, orang tua dapat memonitor dan mengevaluasi kebutuhan gizi anak.
Selain penimbangan, di posyandu, orang tua bisa mendapatkan konseling dan saran bagi anak yang memerlukan pengobatan lebih lanjut.
"Samarinda daerah perkotaan, yang ibu-ibunya pekerja. Jadi minim membawa anaknya ke posyandu. Capaian (ke posyandu) itu masih rendah. Mungkin karena keterbatasan waktu, karena posyandu pagi," tandas Nurul.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Samarinda, dr Siti Nuriyatus Zahrah mengamini kalau minat masyarakat yang membawa anaknya ke posyandu masih rendah. Jumlahnya di bawah 30 persen. Sementara idealnya 80 persen dari populasi.
Tutus mengungkapkan, hasil pencatatan balita stunting pada 714 Posyandu di Samarinda setiap bulan selalu berubah-ubah.
Data yang dihimpun Dinkes Samarinda melalui elektronik-penguatan pencatatan pelaporan gizi berbasis masyarakat (e-PPGBM), hingga Agustus 2023, ada 1.319 balita stunting atau 9,8 persen. Sementara hitungan data timbang hingga Juli 2023 lalu, terdapat 1.445 balita stunting atau 16,3 persen.
Hasil data timbang Januari-Juli 2023 menelurkan, Kecamatan Loa Janan Ilir paling banyak ditemui kasus stunting dengan 324 balita. Sedangkan daerah terpadat di Kota Tepian, yakni Kecamatan Samarinda Ulu sebanyak 198 balita.
Disusul Kecamatan Sungai Kunjang 195 balita, Samarinda Ilir 135 balita, Sungai Pinang 124 balita, Palaran 117 balita, Samarinda Seberang 106 balita, dan Sambutan 95 balita.
Lalu Samarinda Utara 83 balita dan Samarinda Kota 67 balita. "Ada yang stunting Juli nggak datang, tapi Agustus datang, ia terhitung di Agustus. Ada yang Agustus datang, tapi September nggak datang," terang perempuan yang akrab disapa Bu Tutus itu.
Tipisnya pemahaman masyarakat tentang Posyandu menjadi tantangan yang dihadapi Pemerintah Kota Samarinda. Sehingga upaya penurunan prevalensi stunting mengacu pada data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI).
"Metode yang dipakai SSGI adalah sampling, jadi tidak mewakili seluruh populasi," kata Tutus.
Hasil survei SSGI menunjukkan pada 2022 lalu stunting di Samarinda sebesar 25,3 persen. Sedangkan tahun 2021, jumlahnya 21,6 persen.
"Secara nasional, target penurunan prevalensi stunting pada 2024 adalah 14 persen. Sedangkan di Samarinda, tahun depan stunting harus turun sampai 11 persen," tandasnya.
Tidak tanggung-tanggung, target jangka panjang Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Samarinda, yang diketuai Wakil Wali Kota Samarinda, Rusmadi Wongso sebesar nol persen pada 2030 mendatang.
Lalu, bagaimana cara pemerintah menurunkan stunting?
Penanganan Hulu sampai ke Hilir adalah istilah yang dipakai pemerintah untuk menekan angka stunting di Samarinda. Secara teknis, penanganan hulu berarti intervensi sensitif. Sedangkan penanganan hilir, adalah intervensi spesifik.
Tutus menerangkan, intervensi spesifik meliputi berbagai kegiatan di ranah kesehatan. Sementara intervensi sensitif, program jangka panjang yang melibatkan sedikitnya 17 Organisasi Perangkat Daerah (OPD) serta lembaga terkait di Samarinda.
"Peran spesifik 30 persen keseluruhan intervensi. Mulai dari pemberian tablet penambah darah untuk remaja, vitamin A dan makanan tambahan untuk balita. Lalu, mengadakan kelas ibu hamil dan ibu balita," terangnya.
Sementara intervensi sensitif merangkul 70 persen dari semua kegiatan intervensi. Kolaborasi dalam program ini terwujud dalam lintas sektoral.
"Misalnya stunting karena akses air bersih, kalau ini kurang, bisa menyebabkan multi-efek pada ibu hamil, sehingga anak dilahirkan bisa infeksi. Kemudian DPUPR. Berhubungan dengan sanitasi dan rumah layak. Lalu ada Dinsos. Berkaitan dengan bantuan masyarakat miskin ekstrim yang juga stunting," papar Tutus.
Di sektor kesehatan, upaya sensitif yang paling ditekankan Dinkes Samarinda adalah sosialisasi terhadap faktor determinan penyebab stunting.
"Di Samarinda, kebanyakan disebabkan karena orang tuanya merokok. Harus disosialisasikan, daripada membeli rokok lebih baik membeli makanan bergizi untuk anak. Namun orang tua masih banyak yang belum paham ini," tutup Tutus.
Dengan demikian, persoalan stunting ternyata bukan hanya perkara kekurangan gizi kronik yang membuat tubuh bayi jadi pendek. Ada hal lain yang lebih serius. Yaitu, menyiapkan generasi bangsa yang sehat dan berkualitas.
Penulis: Maul
***
Berita ini juga bisa didengarkan di platform mendengar, Spotify:
Benua Etam
Terima Silaturahmi Masyarakat Umum, Gubernur Kaltim Berikan Santunan Kepada 1.000 Penerima20 Sep 2023