Main Image
Ekonomi
Ekonomi | 17 Mar 2022

Pengamat Ekonomi Unmul Nilai Panic Buying Migor karena Dekat Bulan Ramadan

968kpfm, Samarinda - Kelangkaan minyak goreng (migor) di Samarinda jadi sorotan publik. Sebab, pada Selasa (15/3) lalu, seorang ibu rumah tangga, Rita Riyani meninggal dunia setelah mendapat perawatan dua hari di rumah sakit.

Perempuan 49 tahun itu jatuh pingsan dan harus dibawa ke rumah sakit setelah antre untuk membeli minyak goreng di sebuah ritel ternama, Minggu (13/3).

Fenomena langkanya olahan kelapa sawit ini tentu disinyalir karena masyarakat panic buying atau panik membeli.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Mulawarman Hairul Anwar menjelaskan, sejak awal skema pemerintah untuk menekan harga minyak goreng sudah benar, dengan menetapkan satu harga, yakni Rp 14.000 per liter.

Itu karena, sebelum sulit ditemukan di pasaran, harga minyak goreng melambung tinggi di awal tahun, yaitu Rp 20.000 per liter.

Menurut Anwar, upaya pemerintah menggelar operasi pasar untuk membantu masyarakat yang kesulitan mendapat minyak goreng, patut diacungi jempol. Namun, program ini tidak bisa menyelesaikan masalah, karena jumlah minyak goreng yang disediakan terbatas.

"Di sisi lain, saya sangat menyayangkan sulitnya masyarakat mendapat minyak goreng. Seharusnya pemerintah bisa belajar dari kenaikan harga bahan pokok sebelumnya," ucap Anwar.

Hairul menyoroti sikap pemerintah yang cenderung pasif menelusuri keterkaitan fenomena ini dengan oknum yang menimbun komoditi minyak goreng.

Jika dilihat seksama, ujar Hairul, tidak ada penurunan panen kelapa sawit sehingga tidak terjadi kekurangan crude palm oil (CPO).

Lalu produksinya tidak mengalami penurunan, sementara permintaan normal. Namun di lapangan justru terjadi kelangkaan di mana-mana.

"Kalau di awal harga minyak goreng naik itu wajar. Karena harga CPO naik, serta kebutuhan energi naik. Jika dua komponen ini naik, otomatis ongkos produksi meningkat dan harga mengalami kenaikan. Tapi apakah ada kelangkaan? Kan tidak ada," ujar Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis itu.

Hairul mendorong pemerintah bisa menelusuri alur pengiriman. Mulai dari produsen, distributor hingga kepada ritel dan pedagang karena mereka pasti memiliki datanya.

Selain itu, Hairul mengkritisi komunikasi publik pemerintah yang dinilai buruk. Hal itu menyebabkan terjadinya panic buying di kalangan masyarakat.

Panic buying ini terjadi lantaran masyarakat tengah bersiap menyambut bulan suci Ramadan. Pada momen tersebut, kebutuhan sembako masyarakat akan mengalami peningkatan.

"Seharusnya pemerintah sudah bisa membaca situasi ini. Selama ini pemerintah hanya melakukan retorika. Retorika itu sudah basi karena kita tidak butuh itu. Kita butuh minyak goreng itu ada. Bagi pejabat di sana, memang ini urusan politik. Tapi bagi masyarakat ini adalah urusan dapur," cetusnya.

Hairul memberi saran kepada pemerintah agar melibatkan aparat penegak hukum dalam hal ini Polri untuk menindak tegas oknum-oknum yang sengaja memanfaatkan momentum ini.

"Jujur saja, kita tidak ingin ada ibu-ibu yang harus gugur karena kelelahan mengantre minyak. Karena harga minyak goreng terlalu murah jika dibandingkan dengan nyawa seseorang," tutupnya.

Penulis: Fajar
Editor: Maul

Share This Post
More News

Tap anywhere to start radio 96.8KPFM 🎵