Main Image
Cerita Unik
Cerita Unik | 17 Sep 2021

Terseok-seok di era digital, Radio Masih Tahan Banting

968kpfm, Samarinda - Sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1896 oleh fisikawan Italia, Guglielmo Marconi, radio memiliki peran yang cukup sentral dalam penyampaian informasi.

Bahkan peran radio semakin diperhitungkan di era perang dunia dan zaman kolonial. Informasi mengenai kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 saja disampaikan melalui radio.

Sehingga banyak pejuang muda yang mendengar siaran tersebut di daerah lain menjadi bersemangat untuk melawan penjajah yang masih tersisa.

Perkembangan radio di Indonesia mencapai era keemasannya pada medio 1980, 1990 sampai awal 2000-an. Saat itu, pesaing radio sebagai sarana penyampaian informasi hanya surat kabar.

Sementara televisi belum berjaya karena harganya yang terbilang mahal, sehingga radio dianggap media yang paling interaktif.


Populer di kalangan kawula muda, stasiun radio jadi tempat nongkrong

Berbeda dengan saat ini di mana kafe, kedai kopi dan tempat hiburan banyak bermunculan. Dahulu stasiun radio menjadi tempat anak-anak muda untuk bersantai dan menjadi tempat tongkrongan yang asyik.

General Manager Radio KPFM Samarinda, Sofian Sauri jadi saksi era keemasan radio di Kota Tepian --julukan Samarinda-- era 2000-an.

Pria yang sudah berkecimpung di dunia penyiaran radio sejak 2003 ini menuturkan, semasa itu radio masih sangat ramai dan kompetitif. Untuk request lagu saja, pendengar harus mengisi kertas yang dijual di stasiun radio.

Tidak hanya itu, Sumber pemasukan iklan mayoritas berasal dari sektor swasta dan aktivitas jual beli kertas request lagu. Sehingga pada masa itu bisnis radio diyakini sangat menjanjikan.

"Kalau zaman dulu radio menjadi tempat untuk nongkrong anak muda saat malam minggu. Makanya dulu setiap stasiun radio itu ada fanbase-nya. Kalau acara request lagu itu pasti penuh," kenang Sofian.

Seiring perkembangan zaman, siaran radio mulai ditinggalkan. Sebagian besar masyarakat beralih ke televisi dan platform media sosial yang semakin bervariasi pada medio 2010-an.

Sofian berujar, sejak awal kemunculannya, banyak stasiun radio menilai platform media sosial dapat mengancam eksistensi radio.

Tetapi dugaan itu salah. Ternyata kehadiran media sosial justru membantu radio dalam pengembangan manajemen dan bisnis.

"Jadi radio sekarang trennya tidak lagi konvensional, melainkan kami harus bisa beradaptasi dengan adanya perkembangan zaman dan digitalisasi dalam menyampaikan informasi. Tapi kita tidak boleh melupakan ciri khas dari radio dengan hanya menampilkan audio," jelas Sofyan.

"Seperti halnya program kami bertajuk "Ruang Tengah". Kami memanfaatkan medsos untuk proses penyampaian secara audio visual. Tapi kami tidak melupakan ciri khas radio dengan tampilan audio saja. Ini dilakukan agar tidak ketinggalan dari media massa lain," sambungnya.


Harus berinovasi, budaya lokal jangan ditinggalkan

Digitalisasi membuat radio semakin ditinggalkan peminatnya. Setiap tahun saja pendengar radio selalu mengalami penurunan. Perlu adanya inovasi dari stasiun radio agar mereka bisa kembali menggaet pendengar, utamanya di kalangan kaum milenial.

Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Kaltim, Bawon Kuatno menekankan pentingnya lembaga penyiaran untuk membuat inovasi program agar menggaet peminat.

Tentunya hal ini harus dilengkapi dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM). "SDM dalam lembaga penyiaran harus mampu membaca perkembangan masa kini. Karena budaya masyarakat sekarang mulai bergeser, tidak seperti dulu lagi. Sekarang mereka bisa mendengar dan melihat apa saja melalui gadget," jelas Bawon.

Agar bisa terus didengarkan oleh masyarakat, stasiun radio harus memanfaatkan segala sarana yang telah tersedia saat ini. Seperti layanan streaming, Youtube atau podcast.

"Inilah yang sekarang digandrungi anak muda. Sehingga mau tidak mau di era sekarang kita harus bisa beradaptasi supaya bisa kompetitif," kata Bawon.

Program siaran dengan mengedepankan budaya lokal adalah kunci supaya radio bertahan di era disrupsi teknologi.

Adapun cara lain agar stasiun radio mampu bertahan di era disrupsi. Dirinya tak memungkiri bahwa serbuan budaya dan bahasa asing saat ini membuat anak muda mulai melupakan budaya lokal.

Oleh sebab itu, Bawon ingin agar stasiun radio mampu membuat program siaran yang bisa memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai kearifan lokal di Kaltim seperti bahasa daerah, lagu daerah dan cerita lokal.

"Kami harap radio bisa mengambil peran ini agar budaya lokal kita tidak luntur. Contohnya saja sekarang banyak anak muda kita yang fasih dengan bahasa korea. Itu memang boleh saja, tapi kami ingin agar budaya lokal tidak ditinggalkan oleh anak-anak muda ini," terangnya.


Manfaatkan instrumen digital untuk jaring pendengar

Meski dinilai "old fashion", harus diakui bahwa radio adalah salah satu saluran penting untuk penyampaian informasi dari pemerintah ke masyarakat.

Radio dinilai masih efektif walau terjadi pengurangan terhadap jumlah pendengar karena situasi mulai berubah menuju digitalisasi.

Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kaltim, Muhammad Faisal melihat bahwa, keberadaan radio memang cukup unik dan dianggap lebih cepat daripada media cetak.

Bahkan dahulu radio digadang-gadang menjadi saluran yang cepat, menghibur masyarakat, serta sarana edukasi yang murah meriah.

"Tapi karena trennya mulai bergeser maka penggemarnya pasti turun," sebut Faisal.

Faisal memaparkan, agar radio bisa bertahan di tengah gempuran digitalisasi, mereka harus bisa beradaptasi dengan tren kekinian. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan supaya radio bisa kembali merebut pasar.

Pertama, kurangi komunikasi satu arah. Hal ini dianggap menjadi salah satu kelemahan dari radio karena kurang interaktif. Sehingga penting bagi lembaga penyiaran untuk mengedepankan dialog-dialog bersama masyarakat untuk menarik minat.

Kedua, lanjut Faisal, radio harus mampu beradaptasi dengan tren saat ini. Menurutnya, radio harus bisa mengikuti perkembangan teknologi dengan menyediakan layanan streaming, bermain dan melakukan promosi di media sosial.

"Radio harus beradaptasi dengan situasi ini supaya bisa merangkul segmen pendengar yang bukan fanatik terhadap radio," tuturnya.

Ketiga, Faisal berpesan agar stasiun radio mampu membuat jaringan ke beberapa wilayah.

Mantan Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Samarinda ini mengakui bahwa radio memiliki batasan aturan dan coverage. Guna menyiasati hal tersebut, radio harus mampu membuka jaringan dengan radio di wilayah lain untuk menjangkau penggemar radio di sana.

Terakhir, radio harus bisa memberikan generalisasi terhadap pendengarnya. Memang saat ini banyak radio komunitas yang semakin berkembang dan mengkotak-kotakkan pendengarnya pada satu genre tertentu. Meski hal itu tidak dilarang, namun itu tidak mampu mengakomodir keinginan pendengar lain.

"Lebih baik stasiun radio bisa mengakomodir segala genre ataupun komunitas. Sehingga pendengarnya semakin bervariatif. Kita lihat pendengar radio ini kan cenderung menurun setiap tahunnya," tutup Faisal.

Penulis: Fajar

Editor: Maul

Share This Post
More News

Tap anywhere to start radio 96.8KPFM 🎵